Rabu, 02 Maret 2011

Etika Pelajar Islam

ETIKA PELAJAR ISLAM

A. Pendahuluan
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala yang telah mengajarkan kesempurnaan etika kepada manusia dan membuka pintu bagi mereka untuk mengamalkannya. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada manusia terbaik yang beribadah dan kembali kepada Allah Tabaroka wata'ala. Sesungguhnya Islam benar-benar menaruh perhatian yang sangat besar kepada manusia di dalam segala perihal dan urusannya, agama dan dunianya, lapang dan kesulitannya, bangun dan tidurnya, dikala bepergian dan iqamah, makan dan minum, bahagia dan sedihnya. Tidak ada perkara kecil ataupun besar apapun yang tidak dijelaskan oleh Islam.
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam telah menggoreskan buat kita melalui ucapan dan perbuatannya rambu-rambu etika yang seyogya-nya ditempuh oleh setiap mu'min di dalam hidupnya. Melalui kepribadiannya yang mulia, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam telah menjelaskan kepada kita contoh etika yang seharusnya ditiru. Maka barang siapa yang menghendaki kebahagiaan, hendaklah ia menempuh jalan hidup Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dan meneladani etikanya. Oleh karena kebanyakan orang pada akhir-akhir ini yang tidak mengetahui etika- etika tersebut atau butuh untuk diingatkan kembali, maka kami memandang perlu menyajikannya secara singkat, dengan iringan do`a kepada Allah Tabaroka wata'ala semoga amal ini berguna bagi segenap kaum muslimin. Semoga shalawat dan salam tetap dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

B. Pengertian Etika

Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).
Selain akhlak kita juga lazim menggunakan istilah etika. Etika merupakan sinonim dari akhlak. Kata ini berasal dari bahasa Yunani yakni ethos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan yang dimaksud kebiasaan adalah kegiatan yang selalu dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan seperti merokok yang menjadi kebiasaan bagi pecandu rokok. Sedangkan etika menurut filasafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Etika membahasa tentang tingkah laku manusia.
Ada orang berpendapat bahwa etika dan akhlak adalah sama. Persamaan memang ada karena kedua-duanya membahas baik dan buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan.
Apabila kita menelusuri lebih mendalam, maka kita dapat menemukan secara jelas persamaan dan perbedaan etika dan akhlak. Persamaan diantara keduanya adalah terletak pada objek yang akan dikaji, dimana kedua-duanya sama-sama membahas tentang baik buruknya tingkah laku dan perbuatan manusia. Sedangkan perbedaannya sumber norma, dimana akhlak mempunyai basis atau landasan kepada norma agama yang bersumber dari hadist dan al Quran.
Para ahli dapat segera mengetahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut.
1. dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbutaan yang dilakukan oleh manusia.
2. dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolut dan tidak pula universal.
3. dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, terhina dsb.
4. dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-rubah sesuai tuntutan zaman.
Dengan ciri-ciri yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.

C. Etika Pelajar islam
Pelajar Islam Indonesia , kalimat ini adalah satu kesatuan kata yang cukup komplit mencakup nama, kepribadian dan orientasi diri untuk setiap penuntut ilmu. Setiap orang hakikatnya adalah pelajar. Bagaimanapun proses pembelajaran yang ditempuh untuk memperoleh ilmu pengetahuan tersebut, dia dinamakan sebagai pelajar. Dan pelajar itu adalah kita semua. Karena belajar, merupakan tuntutan hidup mulai dari buaian sampai ke liang lahad. Sepanjang napas dikandung badan, sebelum nyawa berada di krongkongan dan selama seseorang masih dikatakan hidup, maka orang itu masih memangku tugas belajar tersebut.
Dalam prakteknya, belajar ini dibagi menjadi formal, informal dan nonformal. Ketiga pembagian ini memiliki bobot dan tuntutan yang sama. Ketiganya dihukumkan wajib bagi siapa saja, yang hendak meningkatkan kualitas diri dan berakhir pada pengenalan siapa dirinya, dimana ia berada serta siapa Penciptanya. Oleh karena itu, tidak mutlak benar ungkapan “ aku ada karena aku berpikir”. Sebab, dari proses berfikir ini akan melahirkan hal-hal yang bersifat transendental juga. Idealnya, orang yang bermula berfikir tentang siapa dirinya, tentu akan membawanya untuk berfikir, bagaimana asal muasalnya, dan untuk apa keberadaanya. Sehingga, muncul pertanyaan susulan, Siapa yang menciptakannya. Kalau dalam pembahasan filsafat, ini disebut ontologi, epistimologi dan aksiologi. Maka pantas, bagi kalangan sufi menyebutkan ; man arrafa nafsah faqad arafa rabbah, bahwa dalam rangka mengenal tuhan dibutuhkan proses identifikasi diri.
Kembali pada klasifikasi belajar. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa belajar itu secara garis besar dibagi dua; Formal dan nonformal. Yang jelas, belajar formal ini adalah proses belajar yang diperoleh di bangku sekolah dan kuliah. Semua proses pembelajaran yang sifatnya formal, mulai dari dasar, menegah, atas, hinggga ke perguruan tinggi, maka ini disebut belajar formal. Karena memang, pada akhir jenjang di setiap tingkat, ada ijazah atau sertifikat yang dikeluarkan sebagai pernyataan bahwa orang yang bersangkutan telah selesai. Dan biasanya, surat keterangan itu memiliki akses nasional bahkan internasioanal.
Berbeda mungkin dengan pendidikan nonformal, proses transformasi pengetahuan yang berlangsung bukan di bangku-bangku sekolah atau kuliah, meletakkannya sebagai tempat pembelajaran yang sifatnya suplemen. Tuntutannya hanya sebatas anjuran bukan kewajiban. Karena penguasaan ilmu tersebut hanya bersifat dukungan. Pembelajaran inilah yang kemudian banyak ditemukan di tempat-tempat kursus.
Kemudian, untuk pendidikan yang sifatnya informal, adalah proses-proses pembelajaran yang dieperolah seseorang melalui hasil interaksinya dengan masyarakat. Atau, proses-proses transformasi ilmu yang diperolah dari lembaga-lembaga kajian baik dari organisasi ataupun lainnya. Dan untuk hal ini, berawal dari sebuah masyarakat yang paling kecil yaitu keluarga, seseorang sebenarnya telah melakukan pembelajaran. Pola interaksi anggota keluarga inilah yang menjadi basis bagaimana seorang anak sebagai murid belajar etika dari orang tua sebagai gurunya.
Dari ketiga pengelompokkan proses belajar di atas, adalah yang menjadi sorotan utama untuk penamaan belajar tertumpu pada belajar yang sifatnya formal. Belajar formal inilah yang kemudian memfokuskan diri untuk proses transformasi ilmu yang dikategorikan tuntutan. Artinya, tanpa harus memandang belajar informal dan nonformal itu, tidak dituntut, belajar formal itu dianggap lebih prioritas bagi setiap orang. Benar memang, bahwa tuntutan belajar itu adalah untuk segala bentuk pembelajaran. Namun dalam kesempatan ini, kita akan mencoba melihata lebih dalam bagaimana karakteristik pelajar sejati dia bangku pendidika formal.
Sejatinya seorang muslim, apa pun tindakannya haruslah searah dengan apa yang digariskan oleh agama Islam. Hal inilah yang kemudian timbul jadi pertanyaan, apakah kita yang sedang belajar di pendidikan formal sudah terpatri jiwa keislaman yang kokoh, sehingga cara pandang kita terhadap ilmu pengetahuan tidak lagi membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum.
Bagaimana mungkin seorang muslim yang tengah mendalami ilmu-ilmu agama, lantas dia alergi mendengar ilmu-ilmu non agama. Atau sebaliknya, seorang muslim yang belajar ilmu-ilmu non agama, jadi buta sama sekali dengan pengetahuan agama. Penyekatan inilah yang membuat kebanyakan muslim menjadi orang yang setengah-setengah. Ibarat bertepuk sebelah tangan, maka tak kan ada irama yang indah bisa diperdengarkan. Wal hasil kesempurnaan pendidikan pun jauh dari harapan.
Satu hal yang cukup sulit mungkin, mengharapkan muncul sosok muslim yang paham di bidang keagamaan di satu sisi, namun ia juga pakar di bidang umum di sisi lain. Tapi memang ini adalah sebuah keharusan. Kalaupun Imam Ghazali membagi ilmu pada fardhu ain untuk ilmu agama, dan fardhu kifayah untuk ilmu umum, bukan berarti bahwa penuntut ilmu agama bisa berlaku cuek pada materi-materi yang sifatnya umum. bukankah penguasaan ilmu dibutuhkan bagi siapa saja yang mengingin kan kebaikan dunia dan akhirat. Sampai-sampai derajat orang yang berilmu itu lebih tinggi dari ahli ibadah. Ini menandakan, ilmu agama adalah kewajiban dan ilmu umum adalah keharusan. Artinya, untuk menuju pribadi muslim yang kaffah dia harus bisa menggabungkan keduanya.
Agama merupakan spirit yang melapisi semua lini kehidupan. Kehadirannya tidak bisa dilepas dari aktivitas hidup yang ada. Oleh karenanya, penguasaan di bidang agama ini, justru menuntut penguasaan pengetahuan yang berhubungan dan agama dan kehidupan itu sendiri. Pendeknya, kalau agama menggolongkan hidup, ada yang di dunia dan ada yang di akhirat, maka penguasaan ilmu agama, yang sifatnya keduniaan haruslah berlaku seoptimal mungkin. Karena agama muncul sebagai pengatur hubungan antara individu dengan individu, individu dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat dan individu dengan Tuhan.
Lalu bagi seorang muslim yang tengah mendalami pengetahuan-pengetahuan umum, semestinya tidak lupa di mana tempat berpijak dirinya. Tidak mudah menjadi seorang yang pakar di bidang umum, namun paham juga tentang agama. Tapi, lagi-lagi ini adalah keharusan. Sebab, agama adalah identitas kepribadian seseorang. Karena agama adalah sumber segala inspirasi bagi tiap sesuatu.
Tentu, dalam prakteknya akan berbeda, orang yang berfikir dengan tolok ukur agama dengan yang berfikir tanpa agama. Begitu juga, tidak sama buah fikir orang yang memiliki latar belakang agama yang berbeda. Orang yang yang berfikir non agama akan cenderung atheis dan mendewakan rasionalitas. Begitu juga orang yang berfikir dengan krangka agama tertentu, maka pasti menghasilkan buah fikir yang sejalan dengan norma-norma yang berlaku pada agama tersebut. Sehingga ilmu yang dihasilkan adalah sejalan dengan apa yang digariskan agama.
Terakhir, dalam apa yang disebut tujuan. Segala tindak tanduk seseorang di dasari dengan sebuah orientasi yang ingin di peroleh. Seseorang yang melakukan sesuatu tanpa didasari oleh tujuan yang jelas maka cenderung prosesnya lambat dan tidak teraatur. Bukan hanya itu saja, bahkan tanpa arah yang jelas maka bisa-bisa akan berakhir sia-sia. Oleh karenanya, dalam agama orientasi ini disebut dengan niat.
Kaitannya dengan status sebgai pelajar berjiwa islam yang kuat, maka hal yang paling tepat adalah bagaimana memberdayakan ilmu yang diperoleh bisa berguna bagi masyarakat. Dan dalam hal ini, pelajar islam di tanah air kita sejatinya, adalah orang-orang yang dengan ilmu pengetahuan yang diperolehnya, bisa di dayagunakan untuk kemajuan masyarakat dan bangsa Indonesia . Dengan demikian, maka jadilah ia orang terbaik sebagaiamana yang disabdakan rasul; “Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang banyak”
D. Contoh Etika Pelajar Islam
a. Etika Menjenguk Orang Sakit
Untuk orang yang berkunjung (menjenguk):
1. Hendaknya tidak lama di dalam berkunjung, dan mencari waktu yang tepat untuk berkunjung, dan hendaknya tidak menyusahkan si sakit, bahkan berupaya untuk menghibur dan membahagiakannya.
2. Hendaknya mendekat kepada si sakit dan menanyakan keadaan dan penyakit yang dirasakannya, seperti mengata-kan: “Bagaimana kamu rasakan keadaanmu?”. Sebagai-mana pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam.
3. Mendo`akan semoga cepat sembuh, dibelaskasihi Allah, selamat dan disehatkan.
4. Mengusap si sakit dengan tangan kanannya, dan berdo`a: “Hilangkanlah kesengsaraan (penyakitnya) wahai Tuhan bagi manusia, sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh, tiada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit”. (Muttafaq’alaih).
5. Mengingatkan si sakit untuk bersabar atas taqdir Allah Subhanahu wa Ta'ala dan jangan mengatakan “tidak akan cepat sembuh”, dan hendaknya tidak mengharapkan kematiannya sekalipun penyakitnya sudah kronis.
6. Hendaknya mentalkinkan kalimat Syahadat bila ajalnya akan tiba, memejamkan kedua matanya dan mendo`akan-nya.
Untuk orang yang sakit:
1. Hendaknya segera bertobat dan bersungguh-sungguh beramal shalih.
2. Berbaik sangka kepada Allah, dan selalu mengingat bahwa ia sesungguhnya adalah makhluk yang lemah di antara makhluk Allah lainnya, dan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membutuhkan untuk menyiksanya dan tidak mem-butuhkan ketaatannya.
3. Hendaknya cepat meminta kehalalan atas kezhaliman-kezhaliman yang dilakukan olehnya, dan segera mem-bayar/menunaikan hak-hak dan kewajiban kepada pemi-liknya, dan menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
4. Memperbanyak zikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an dan beristighfar (minta ampun).
5. Mengharap pahala dari Allah dari musibah (penyakit) yang dideritanya, karena dengan demikian ia pasti diberi pahala.
6. Berserah diri dan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berkeyakinan bahwa kesembuhan itu dari Allah, dengan tidak melupakan usaha- usaha syar`i untuk kesembuhan-nya, seperti berobat dari penyakitnya.


b. Etika Bertamu
Untuk orang yang mengundang:
1. Hendaknya mengundang orang-orang yang bertaqwa, bukan orang yang fasiq.
2. Jangan hanya mengundang orang-orang kaya untuk jamuan dengan mengabaikan orang-orang fakir.
3. Undangan jamuan hendaknya tidak diniatkan berbangga-bangga dan berfoya- foya, akan tetapi niat untuk mengikuti sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan membahagiakan teman-teman sahabat.
4. Tidak memaksa-maksakan diri untuk mengundang tamu.
5. Jangan anda membebani tamu untuk membantumu, karena hal ini bertentangan dengan kewibawaan.
6. Jangan kamu menampakkan kejemuan terhadap tamumu, tetapi tampakkanlah kegembiraan dengan kahadirannya, bermuka manis dan berbicara ramah.
7. Hendaklah segera menghidangkan makanan untuk tamu, karena yang demikian itu berarti menghormatinya.
8. Jangan tergesa-gesa untuk mengangkat makanan (hidangan) sebelum tamu selesai menikmati jamuan.
9. Disunnatkan mengantar tamu hingga di luar pintu rumah. Ini menunjukkan penerimaan tamu yang baik dan penuh perhatian.
Bagi tamu :
1. Hendaknya memenuhi undangan dan tidak terlambat darinya kecuali ada udzur, karena hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam mengatakan: “Barangsiapa yang diundang kepada walimah atau yang serupa, hendaklah ia memenuhinya”. (HR. Muslim).
2. Hendaknya tidak membedakan antara undangan orang fakir dengan undangan orang yang kaya, karena tidak memenuhi undangan orang faqir itu merupakan pukulan (cambuk) terhadap perasaannya.
3. Jangan tidak hadir sekalipun karena sedang berpuasa, tetapi hadirlah pada waktunya
4. Jangan terlalu lama menunggu di saat bertamu karena ini memberatkan yang punya rumah juga jangan tergesa-gesa datang karena membuat yang punya rumah kaget sebelum semuanya siap.
5. Bertamu tidak boleh lebih dari tiga hari, kecuali kalau tuan rumah memaksa untuk tinggal lebih dari itu.
6. Hendaknya pulang dengan hati lapang dan memaafkan kekurang apa saja yang terjadi pada tuan rumah.
7. Hendaknya mendo`akan untuk orang yang mengundangnya seusai menyantap hidangannya.

c. Etika Bergaul Dengan Orang Lain
1. Hormati perasaan orang lain, tidak mencoba menghina atau menilai mereka cacat.
2. Jaga dan perhatikanlah kondisi orang, kenalilah karakter dan akhlaq mereka, lalu pergaulilah mereka, masing-masing menurut apa yang sepantasnya.
3. Mendudukkan orang lain pada kedudukannya dan masing-masing dari mereka diberi hak dan dihargai.
4. Perhatikanlah mereka, kenalilah keadaan dan kondisi mereka, dan tanyakanlah keadaan mereka.
5. Bersikap tawadhu'lah kepada orang lain dan jangan merasa lebih tinggi atau takabbur dan bersikap angkuh terhadap mereka.
6. Bermuka manis dan senyumlah bila anda bertemu orang lain.
7. Berbicaralah kepada mereka sesuai dengan kemampuan akal mereka.
8. Berbaik sangkalah kepada orang lain dan jangan memata-matai mereka.
9. Memaafkan kekeliruan mereka dan jangan mencari-cari kesalahankesalahannya, dan tahanlah rasa benci terhadap mereka.
10. Dengarkanlah pembicaraan mereka dan hindarilah perdebatan dan bantah-membantah dengan mereka.

d. Etika Berbicara
1. Hendaknya pembicaran selalu di dalam kebaikan.
2. Hendaknya pembicaran dengan suara yang dapat didengar, tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu rendah, ungkapannya jelas dapat difahami oleh semua orang dan tidak dibuat-buat atau dipaksa-paksakan.
3. Jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna bagimu
4. Janganlah kamu membicarakan semua apa yang kamu dengar
5. Menghindari perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kamu berada di fihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda.
6. Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa.
7. Menghindari perkataan jorok (keji).
8. Menghindari sikap memaksakan diri dan banyak bicara di dalam berbicara.
9. Menghindari perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba.
10. Mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak memotongnya, juga tidak menampakkan bahwa kamu mengetahui apa yang dibicarakannya, tidak menganggap rendah pendapatnya atau mendustakannya.
11. Jangan memonopoli dalam berbicara, tetapi berikanlah kesempatan kepada orang lain untuk berbicara.
12. Menghindari perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan kekeliruannya, karena hal tersebut dapat mengundang kebencian, permusuhan dan pertentangan.
13. Menghindari sikap mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah orang yang berbicara.



E. Penutup
Apa yang disampaikan di atas hanya sebagain kecil dari beberapa contoh etika yang semestinya di lakukan oleh umat islam pada umumnya dan bagi pelajar dan pada khususnya. Dengan adanya etika tersebut diharapkan bisa di jadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita semua dapat hidup tentram dan sesuai dengan sunah-sunah Rosul Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar